Tekanan yang Membentuk Kekuatan: Bagaimana Sanksi Menguatkan Iran?

Tekanan yang Membentuk Kekuatan: Bagaimana Sanksi Menguatkan Iran?

Penulis: Edi Kurniawan*

Iran mengejutkan dunia akhir-akhirnya ini: sebuah negara yang semakin disanksi, justru semakin kuat secara militer. Di tengah embargo ekonomi ketat selama empat dekade, Iran berhasil mengembangkan rudal dan drone canggih serta program nuklir yang mengkhawatirkan Barat.

Bagaimana mungkin sebuah negara yang diklaim “miskin” dan terisolasi ini mampu mengancam Israel dan sekutunya dengan teknologi militer yang canggih hingga mematahkan mitos iron dome Israel?

Beberapa analisis geopolitik, baik tingkat nasional maupun Internasional yang saya ikuti sejak meletusnya perang Iran-Israel berspekulasi: Iran itu bangsa Persia. Maksudnya, DNA Persia yang tangguh mengalir deras pada masyarakat Iran.

Artikel ini menilai berargumen tersebut absurd. Sebab, Fir’aun dan Genghis Khan telah membangun imperium besar di masa silam. Sekarang lihatlah pewarisnya, Mesir dan Mongolia, tidak sebesar pendahulunya. Bahkan konon katanya Gajah Mada berhasil menyatukan Nusantara – tentu masih bisa diperdebatkan – lihat Indonesia hari ini, apakah sekuat angkatan Gajah Mada?

Tulisan ini membantah argumen tersebut dengan mengemukakan tiga faktor utama: warisan sejarah, teologi Syiah, dan rasa “takut”. Ketiganya saling terkait erat. Warisan sejarah yang mengakar dalam jiwa bangsa Persia telah membuktikan diri sebagai sumber kekuatan besar dalam sejarah. Dari Cyrus Agung yang melawan Babilonia pada 539 SM hingga Ayatollah Khamenei yang menghadapi sanksi Barat saat ini, pola yang sama terulang: semakin tertekan, semakin kreatif dan kuat.

Sejarawan Pierre Briant dalam From Cyrus to Alexander mencatat bahwa “kerajaan Persia dibangun bukan hanya atas penaklukan, tetapi atas keberanian untuk merangkul keberagaman dan keberanian menciptakan bentuk-bentuk baru administrasi kekaisaran.”

Karakter “terkepung tapi tak takluk” ini bukan sekedar mitos romantis, melainkan realitas empiris yang terbukti saat menghadapi Alexander Agung, invasi Arab yang mengubah peta agama, gempuran Mongol yang meratakan peradaban, hingga tekanan Ottoman yang menekan dari barat.

Sementara itu, Josef Wiesehöfer Ancient Persia menegaskan dengan bahwa “keberanian Persia bukanlah keberanian yang gegabah dari bangsa barbar, tetapi heroisme yang diperhitungkan yang menggabungkan keterampilan militer dengan kebijaksanaan diplomatik”—sebuah formula yang kini termanifestasi dalam strategi proxy warfare, diplomasi nuklir Iran kontemporer, sampai pada perang Iran-Israel.

Transformasi perlawanan Iran tidak hanya mengakar dalam konteks politik dan militer, tetapi juga dalam fondasi teologis yang sangat kuat, yaitu ajaran Syiah. Dalam pandangan Syiah, perlawanan terhadap penindasan bukan hanya sebatas pilihan strategis, tetapi merupakan kewajiban religius yang tercermin dalam paradigma Karbala. Seperti yang diungkapkan oleh Mahmoud Ayoub dalam Redemptive Suffering in Islam, “Kematian Husen di Karbala menjadi model perlawanan Syiah, mentransformasi penderitaan menjadi bentuk jihad melawan penindasan.”

Di Karbala, Imam Husen memilih untuk mati syahid daripada menyerah kepada Yazid, sebuah keputusan yang menjadikan pengorbanannya sebagai simbol perlawanan abadi bagi Syiah. Dalam konteks ini, kematian bukanlah sebuah fatalisme, tetapi sebuah pilihan strategis yang mengubah penderitaan menjadi kekuatan spiritual dan politik yang dahsyat.

Konsep Imamah dalam tradisi Syiah semakin memperkuat legitimasi perlawanan ini, dengan mengajarkan bahwa otoritas temporal harus ditantang ketika bertentangan dengan keadilan ilahi. Kamran Scott Aghaie dalam The Martyrs of Karbala menegaskan bahwa “narasi Karbala berfungsi sebagai memori sejarah dan seruan aksi kontemporer, memberikan justifikasi teologis bagi Syiah untuk melawan tirani.”

Dalam hal ini, perlawanan bukan hanya soal politik atau kekuasaan, tetapi juga masalah keadilan yang lebih tinggi, yaitu keadilan ilahi yang harus ditegakkan, meski harus melalui pengorbanan besar. Iran, dengan demikian, mengklaim posisinya sebagai “benteng Syiah” yang teguh menghadapi “axis of oppression” yang diwakili oleh kekuatan Barat, khususnya Amerika dan Israel.

Dengan narasi yang sarat legitimasi teologis, Iran memosisikan dirinya bukan sekadar sebagai aktor geopolitik global, melainkan sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dunia. Setiap kebijakan luar negeri dan program militernya didasarkan pada landasan agama yang mendalam, memperkuat semangat juang melawan apa yang dianggap sebagai penindasan global. Simbolisme Karbala digunakan untuk menegaskan klaim moral dan religius mereka, menjadikan strategi politik Iran sebagai bagian dari misi keagamaan yang lebih besar, bukan sekadar retorika semata.

Anda tidak perlu menganggap, apalagi atau mencurigai saya pengikut Syiah, tidak. Saya adalah seorang Sunni yang sepenuhnya konsisten dengan kesunniannya. Saya lahir, besar, dan dididik dalam tradisi Sunni. Namun tidak salah juga kita belajar mengapa Iran mengejutkan dunia, seperti disaksikan beberapa hari ini.

Warisan sejarah dan teologi Syiah yang kemudian dilengkapi oleh rasa “takut” melengkapi perlawanan Iran.

Iran dikelilingi negara-negara Sunni seperti negara Teluk, Pakistan, Afghanistan, dan Turki, yang membuatnya terdesak saat lemah. Mirip dengan Israel yang dikelilingi negara-negara Arab, atau Singapura yang kuat namun terancam karena dikelilingi Indonesia dan Malaysia. Ini adalah contoh “the power of kepepet”, di mana tekanan memaksa melewati segala batas.

Memori perang Irak-Iran dan embargo senjata sejak Revolusi 1979, yang bertujuan melumpuhkan militer Iran, malah mendorong Tehran untuk mengembangkan industri pertahanan domestik yang mandiri. Ironisnya, sanksi yang dirancang untuk melemahkan justru malah memperkuat kapabilitas strategis Iran.

Narges Bajoghli dkk (2024) dalam How Sanctions Work: Iran and the Impact of Economic Warfare menunjukkan bahwa sanksi terhadap Iran, yang paling banyak di dunia, malah menguatkan negara tersebut. Sanksi yang dimaksudkan untuk melemahkan kekuasaan justru memperburuk kemiskinan, represi, dan sikap militer Iran terhadap AS serta sekutunya. Sanksi, yang seharusnya menjadi alternatif perang, malah menjadi penyebab perang, menegaskan pentingnya pemahaman tentang cara kerja sanksi.

Walaupun demikian, sanksi yang dilawan dengan tiga landasan utama: warisan sejarah, teologi Syiah, dan rasa “takut”, menyebabkan Iran bangkit. Hasilnya, mata dunia terkejut, Iron Dome Israel yang konon katanya canggih, ternyata tidak sepenuhnya efektif dalam menghadapi rudal Iran. Israel luluh lantak. Rising lion atau singa yang bangkit tidak lagi berburu, tetapi meminta tolong ke raksasa, AS: “Mr. Presiden, finish the job,” sebuah tulisan pada billboard besar di kota Tel Aviv dengan backround Donal Trump.

Itulah Iran, semakin ditekan semakin kuat. Seperti rumus tekanan dalam fisika – P = F/A (P: tekanan, F: gaya, dan A: luas permukaan benda) – semakin besar gaya yang diterima, semakin besar pula kekuatan yang timbul. Sanksi dan tekanan justru mendorong Iran untuk berkembang, memperkuat ketahanan, dan memperluas pengaruhnya.

*Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *